Adil ka'Talino,Bacuramin Ka Saruga, Basengat Ka JUBATA...
SUKU DAYAK KANAYATN
A. Nama Kanayatn
Dayak adalah nama suku-suku asli asal Kalimantan, dalam kamus Indonesia-Inggris “natif ethnic group of Kalimantan”.
1. Ngaju dengan 99 suku kecil
2. Apu Kayan dengan 60 suku kecil
3. Iban dengan 11 suku kecil
4. Klemantan dengan 86 suku kecil
5. Murut dengan 36 suku kecil
6. Punan dengan 50 suku kecil
7. Ot Danum dengan 66 suku kecil.
Dayak Kanayatn dikelompokkan ke dalam salah satu suku kecil Dayak Ot Danum, yang ditulis dengan istilah “Kendayan”,
nama ini kemudian dipakai JU Lontaan untuk menunjuk suku Dayak yang
berbahasa “ahe” atau banana’ di sekitar Ambawang yang berasal dari
daerah Mempawah Hulu.
Penelitian
yang kemudian, menunjukkan bahwa pengelompokan yang telah disusun CH
Duman tersebut di atas, ternyata kurang tepat, sebab antara Dayak
Kanayatn dan Ot Danum tidak menunjukkan hubungan yang dimaksud. Dari
banyak segi misalnya wilayah , bahasa, populasi penduduk dan keragaman
adat, Dayak Kanayatn tidak memiliki kaitan dengan Dayak Ot Danum. Dengan demikian pengelompokan suku Dayak di Kalimantan perlu dirumuskan ulang.
Nama Kendayan mulai dimusyawarahkan kembali supaya sesuai dengan istilah aslinya “Kanayatn” pertama kali dalam musyawarah adat Dayak Kanayatn sekecamatan Sengah Temila tanggal 23-25 Mei 1978, disusul dengan Musyawarah Adat I sekabupaten Pontianak (10 Kecamatan), tanggal 23-25 Mei 1985 di Anjungan, mulai saat itu publikasi dan penulisan istilah “Kendayan” dikembalikan ke istilah aslinnya “Kanayatn”, kemudian menjadi sebutan yang paling umum untuk menyebut suku Dayak yang berbahasa banana’ atau bahasa ahe.
Akan tetapi pengelompokan berdasarkan “bahasa banana’ ” ini pun belum sepenuhnya dapat diterima, sebab dalam
kenyataannya, yang tergolong menggunakan kosa kata bahasa Kanayatn,
bukan hanya dalam kelompok bahasa banana’, tetapi merupakan kelompok
suku Dayak yang memiliki samaan kosa kata mencapai 95-98 % sama, juga
termasuk kelompok ini, walaupun bahasanya bukan disebut bahasa banana’,
misalnya banane’ hanya mengalami lapalisasi yang berbeda sedikit saja. Perbedaan hanya pada hurup ‘a’ (Kanayatn
asli) berubah jadi ‘e’ (Kanayatn Banyuke), mungkin pengaruh bahasa
Melayu. Di daerah lain, misalnya Samalantatn, ‘alapm’ (asli) jadi “a:apm” (Kanayatn Bakati’ dan Sidik-Senakin).
B. Asal Usul dan Sejarah
Mengenai
asal usul Dayak ada dua pendapat yang muncul, pertama, menyatakan bahwa
suku Dayak berasal dari sekitar Cina Selatan. Pendapat ini dikemukakan beberapa
antropolog, diantaranya Van Heine Gildern, yang menyelidiki penyebaran
kebudayaan kapak persegi, di daerah Cina Selatan, sungai Yang Tse Kiang,
Mekhong dan Manan.
Pendapat
lain, merupakan bantahan terhadap pendapat pertama, pendapat ini
dikemukakan oleh para peneliti Dayak seperti JU Lontaan, Tambun Anyang, Cholchester
dan lain-lain yang menyatakan bahwa suku Dayak tidak berasal dari
tempat lain, tetapi memang penghuni asli pulau Kalimantan.
Hal itu dibuktikan dengan temuan tengkorak manusia purba Homosapiens
tahun 1968, (tergolong tengkorak homosapiens tertua) berusia lebih dari
35.000, dan
temuan fosil manusia purba di gua batu Niah dekat Bintulu (Sarawak),
menurut Colchester (1988), hal itu membuktikan di Borneo (Kalimantan)
sudah terdapat manusia sejak 50.000 tahun silam.
Menurut mereka kedua temuan di atas membuktikan bahwa suku Dayak telah
menjadi penghuni pulau Kalimantan sejak zaman permulaan, sejalan dengan
cerita rakyat tentang asal usulnya.
Mengenai asal usul Dayak Kanayatn diungkapkan oleh lebih dari 80 pamaliatn (dukun perobatan) dan tokoh masyarakat, diantaranya Musin, menyatakan bahwa Dayak Kanayatn berasal dari satu tempat yakni “gunung Bawang”. Hal itu dapat diketahui dari mitologi tentang asal usul Dayak Kanayatn dalam ritual perobatan baliatn ketika sang pamaliatn memanjat batang taman ia
seolah-olah pergi ke gunung Bawakng dengan cara memanjat batang taman
tersebut, karena diyakini sebagai tempat asal nenek moyang. Pendapat ini
didukung dengan bukti pohon
buah-buahan seperti nangka, langsat, durian dan mentawa’ dan lain-lain,
sebagai tanda bekas tembawang (bekas tempat tinggal).
Bukti sejarah tentang asal usul Dayak Kanayatn adalah dapat ditelusuri dari sebuah altar berbentuk persegi empat, yang terdapat di puncak gunung bawakng, di tengah-tengahnya ada batu bulat telur. Simbol ini diidentifikasi sebagai lingga Yonni atau phallus sembol penyembahan kepada dewa Syiwa. Bagi Dayak Kanayatn sebagai tanda kadiaman
(tempat penyembahan). Hal ini menjadi petunjuk bahwa pada mulanya orang
Dayak tinggal di sekitar gunung Bawang. Hal tersebut diperkuat dengan
adanya bekas tembawang atau kampung, yang berkembang menjadi binua Kanayatn.
Kelompok
lainnya membuka ladang dan mendirikan kampung-kampung di sekitar
Samalantan, Pemangkat dan sekitarnya, kemudian mendirikan pusat
pemukiman di daerah Sidiniang (Sangkikng sekitar) dan menyebar ke arah
timur menuju Sompak dan Pakumbang, sebagian melanjutkan menyebar ke
daerah Banyuke, Sidik (Senakin), Pahauman, menyusuri
anak-anak sungai Landak, sampai ke muara sungai Landak. Penyebaran
terjadi terutama untuk membuka lahan pertanian baru, mencari
daerah-daerah subur dan karena perkawinan.
Penyebaran terjadi juga untuk menghindari pengayauan antar sesama Dayak dan peperangan dengan suku Melayu dan Cina.
Penyebaran secara besar-besaran di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten
Landak terjadi pada tahun 1967, dipimpin panglima laskar Dayak Kanayatn Rachmad Sahudin
dalam upaya membantu pemerintah menumpas Pasukan Grilya Rakyat Sarawak
(PGRS), Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang terkenal dangan
peristiwa PGRS-Paraku.
Etnis Cina di pedalaman Kalbar diusir karena dianggap kaki tangan
PGRS-Paraku, disusul suku Dayak Kanayatn yang berpindah ke
wilayah-wilayah dan kampung-kampung peninggalan Cina yang sebagian telah dibakar.
Suku Dayak Kanayatn di binua Ipuh pertama kali berjumlah lima orang, berasal dari daerah Mempawah Hulu kira-kira tahun 1730 M.
Mereka berpindah ke daerah Ipuh untuk membuka lahan pertanian, menyebut
diri dengan Dayak Samaya’. Gelombang kedua menyusul setelah peristiwa
politik, pada saat pengusiran
etnis Cina dari desa Ngarak dan Kayu Tanam tahun 1967, kedua desa Cina
tersebut ditempati oleh suku Dayak Kanayatn dari hulu dan daerah-daerah
sekitarnya.
C. Kepemimpinan Masyarakat
Kepemimpinan
adat dalam masyarakat perlu diketahui secara jelas, karena kehidupan
agama suku sedikit banyak dipengaruhi oleh kebijakan pengurus adat. Pada
Bagian ini yang akan dibahas adalah latar belakang kepemimpinan adat
dan kepemimpinan adat tahun 1979 hingga sekarang.
a. Latar Belakang Kepemimpinan Adat
Sebelum
masuknya pengaruh-pengaruh dari luar, masyarakat Dayak hidup di rumah
panjang dan merdeka dalam wilayah adat kampungnya masing-masing. Setiap
kampung dipimpin seorang kepala yang dianggap memiliki wibawa untuk
memimpin masyarakat di bidang adat dan agama. Pola kepemimpinan tradisional ini barulah mulai dirubah zaman kesultanan Melayu yang dijajah oleh bangsa Belanda lambat laun menganggap wilayah Dayak menjadi wilayah kerajaannya.
Demikian
pula di seluruh wilayah Dayak Kanayatn, pengaruh kekuasaan para sultan
Melayu nampak dalam pembentukan-pembentukan daerah administratif, para temenggung diangkat para sultan untuk memimpin wilayah binua.
Hanya Mangku dan Patih yang tidak diangkat oleh kesultanan Melayu,
kedua jabatan ini didapat secara turun temurun, dengan sebutan “pangalima-pangalangok”
Mangku adalah seorang kepala daerah (setingkat raja), dan patih adalah
kepala keamanan, menjadi pemimpin perang menghadapi musuh. Di bawah mangku
dan patih adalah temanggung, yang menjabat sebagai kepala binua
bertanggung jawab kepada Sultan. Temanggung membawahi singa, singa
membawahi sura, sura membawahi jaga, jaga membawahi kepala kampung,
kepala kampung membawahi kabayan, dan kabayan langsung berurusan dangan
masyarakat.
b. Kepemimpinan Adat Tahun 1979 Hingga Sekarang.
Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah, di tingkat desa tugas kepala kampung dan temengung dipisahkan
secara tegas, temenggung dijadikan aparat masyarakat belaka, sedangkan
kepala kampung aparat pemerintah. Keadaan ini menimbulkan gerakan-gerakan untuk membangkitkan kembali kepemimpinan adat.
Walaupun sebelum undang-undang tersebut diberlakukan, telah terasa
adanya kemunduran wibawa para tokoh adat. Hal itu mendorong diadakan
musawarah adat sekecamatan Sengah Temila, tanggal 23-25 Mei 1978, yang
berhasil membentuk koordinator adat untuk kecamatan Sengah Temila,
membawahi 12 Temenggung dan 1 Punggawa.
Selanjutnya setelah UU Nomor 5 tahun 1979 diberlakukan, muncul reaksi
yang lebih kuat dengan diadakannya musyawarah adat tingkat Kabupaten
sekabupaten Pontianak (sebelum pemekaran kabupaten Landak), tanggal
23-25 Mei 1985 di Anjungan yang dihadiri oleh tokoh adat dari 10
Kecamatan. Setelah
Musyawarah Adat I ini lembaga adat diberdayakan dan dimodernisasi
dengan nama Dewan Adat Dayak (DAD) dan Majelis Adat Dayak (MAD). Dewan
Adat dibentuk di tingkat Kecamatan, Kabupaten dan di tingkat Propinsi
dibentuk Majelis Adat.
Secara
garis besar tugas-tugas Dewan Adat adalah sebagai berikut :1) Menjadi
koordinator pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat. 2) Menyeragamkan
dan menertibkan pelaksanaan sanksi adat di wilayah Dayak Kanayatn. 3)
Mengembangkan adat, hukum adat, bahasa adat, peraga adat, kepercayaan
adat dan seni budaya. 4) Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
adat dalam rangka menggali melestarikan budaya adat secara terencana,
terarah dan terpadu. 5) Menjadi mediator antara pemerintah dan
masyarakat adat dalam pembangunan. Moto Dewan Adat menjalankan fungsinya
tersebut adalah “adil ka’ talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ Jubata” , artinya: adil kepada manusia, bercermin ke sorga dan bernafas kepada Tuhan.
Dewan
Adat Dayak (DAD) dan Majelis Adat Dayak (MAD) merupakan badan
musyawarah adat (bukan fungsionaris), tetapi Ketua Dewan dan Majelis
Adat merangkap pula kepala adat (tingkat Kecamatan, Kabupaten dan
Propinsi) sehingga menjadi fungsional. Berdasarkan hasil Musyawarah Adat
II tahun 1991:
Kepengurusan setiap tingkat Dewan Adat, terdiri atas seorang pelindung, penasehat dan pengurus yang dilengkapi biro-biro. Pengurus
inti terdiri dari seorang ketua dan wakil-wakilnya kemudian dibentuk
biro-biro antara lain : biro budaya, biro usaha, biro organisasi, biro
dokumentasi, biro pemuda dan perencanaan, masa kepengurusan ditentukan
tiap 5 tahun.
Peraturan
Mentri Dalam Negri Nomor 3 tahun 1997, tentang pemberdayaan dan
pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan lembaga adat daerah, sejauh tidak bertentangan dengan
hukum nasional, semakin menguatkan peran lembaga adat.
Pengurus adat pada masyarakat Dayak Kanayatn sekarang adalah :
temenggung, pasirah dan pangaraga. Adapun tugas-tugasnya adalah sebagai
berikut :
Pertama, Pangaraga,
tugasnya yang paling utama adalah menagani perselisihan di desa ,
wewenangnya adalah untuk menerima setiap pengaduan dari warga
masyarakatnya dan menyelesaikan secara adat mengenai perkara ringan. Kedua, Pasirah.
Wewenangnya adalah menerima pelimpahan wewenang dari temenggung binua
yang dibantu oleh pangaraga untuk menyelesaikan setiap jenis perkara
ringan yang diajukan oleh masyarakatnya, apabila tidak selesai perkara
tersebut diteruskan kepada timanggong. Ketiga, timanggong, adalah
kepala adat tingkat binua, wewenangnya menyelesaikan perkara adat yang
tidak dapat menerima putusan pangaraga dan pasirah. Di samping itu tugas
pokoknya adalah menangani perkara-perkara berat, seperti pembunuhan,
perkelahian massal dan penyerangan-penyerangan dari binua atau
kampung-kampung lain.
Di atas temenggung binua, diangkat temenggung kecamatan yang merangkap ketua Dewan Adat Kecamatan dan Temenggung Kabupaten yang merangkap ketua Dewan Adat Kabupaten, dan di tingkat propinsi diangkat Temenggung Propinsi yang merangkap ketua Majelis Adat Propinsi.
Mitologi tentang asal usul manusia, suku, alam semesta, dianggap cerita suci, karena diyakini kebenarannya.
Dalam
ritual perobatan baliatn, pamaliatn (dukun perobatan) secara
supranatural pergi ke gunung Bawang memanjat batang taman, seolah-olah
sedang mendaki gunung bawang, ke kampung tempat asal nenek moyang Dayak
Kanayatn pertama, dalam mitologi baliatn nenek moyang mereka mengenal Jubata pertama kali di gunung ini.
Menurut
Musin, dalam wawancara di Desa Ngarak Tanggal 21 Pebruari 2001, Dayak
Kanayatn di daerah Banyuke telah berkembang kira-kira tahun 1400 M,
(bandingkan dengan Lontaan :1975, hlm.
161-162). Mereka hasil perkawinan Ria Sinir (Banyuke:banyadu’) dan Dara
Itapm (Kanayatn: banana’). Pertama kali mereka berada di kampung Jering
(Setolo-Darit), 2 generasi kemudian (+ 1600-1700 M) keturunnya mendirikan kampung-kampung di daerah Sigonyekng, Sabakit, Ringo, Guna, Labak-Jongkak, Nangka, dan mendirikan pusat ketemanggongan di desa Ladangan-Darit, kira-kira tahu 1780 M.
Menurut
Sukara, dalam Wawancara di Desa Senakin tanggal 19 Desember 2003, suku
Dayak Kanayatn telah mendiami dataran tinggi dan pegunungan sidik 9-10
generasi kira-kira 300 tahun yang lalu atau +
1700 M, hal itu ditandai dengan tembawang (bekas pemukiman), pemakamaan
dan kebun buah-buahan, seperti durian, tengkawang, langsat, nangka,
bintawa’ dan lain-lain.
Dituturkan
oleh Aswidie Rachmad, di Desa Ngarak, tanggal 08 Agustus 2000, mantan
kepala desa, anggota Dewan Adat Kecamatan Mandor dan pasirah Binua Ipuh,
tinggal di Ngarak, Dibandingkan dangan pendapat Salib, tokoh Binua
Angkabakng-Ladangan, tinggal di Guna Kecamatan Banyuke-Darit, (dan
tokoh-tokoh lain), sistim kepemimpinan yang diungkapkan keduanya sama
seperti di atas.
Binua Angkabakng-Ladangan, Kecamatan Darit, didirikan sekitar tahun 1780, temenggung pertamanya bernama
Temenggung Nawar. Menurut penuturan Musin, di Desa Ngarak tanggal 21
November 2001, temenggung binua Angkabakng pertama diangkat oleh
pangeran Nata Kusuma dari kesultanan Landak, setelah berhasil dalam
peperangan melawan Cina di desa Ladangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar